Oleh: Laras Maharani
Ibarat sepasang kekasih yang saling
melengkapi, begitulah saya menganalogikan kata ‘menulis dan membaca’. Terasa
kosong bila menulis tanpa membaca dan terasa percuma pula bila membaca tanpa
menulis.
Menjadi penulis
(apalagi yang ingin sampai terkenal dan karya tulisnya terpajang di toko buku
dengan predikat best-seller) pastilah
harus membaca terlebih dulukarena menulis bukan hanya soal menghasilkan suatu
karya tulis, tetapi juga soal bagaimana metode berpikir dapat berjalan secara
teratur yang diiringi peningkatan kognitif, ketajamananalisis, serta semangat
mencari tahu. Semua itu mudah ditemukan, entah dengan membaca buku, surat
kabar, film, tulisan-tulisan di sosial media, atau membaca fenomena-fenomena
yang ada di sekitar kita. Jika asal tulis, bisa dipastikan tulisan-tulisan yang
dihasilkan terlihat stagnan, membosankan, dan kalah berisi jika dibandingkan
dengan tulisan yang menggunakan riset sebelumnya. Namun sayangnya, sekarang ini
makin buanyak sekali bisa kita temukan buku yang isinya cuma asal cuap, berisi motivasi,
atau lagi-lagi persoalan cinta yang sepele. Apalagi ditambah dengan isu semakin
menurunnya minat baca di Indonesia. Orang-orang lebih memilih asyik baca timeline twitter atau facebook yang mana isinya kebanyakan
curahan hati, keluhan, atau seputar kehidupan orang lain yang sebenarnya tidak
penting untuk diketahui. Maka tidaklah heran bila semakin banyak saja tulisan
berisi asumsi sesat, opini tidak berdasar, dan ditambah buku-buku mainstream sebagai pengkonstruksi untuk
selalu tampil ‘sepatutnya’ di depan khalayak. Cara agar tampil cantik, tips
tampil hijab sopan namun tetap gaya, cara bagaimana bisa kaya mendadak, dan
lain sebagainya. Hal itu membuktikan bahwa semakin banyak pula tulisan yang
hanya sekedar tulisan. Tidak ada ide yang berkembang, juga tidak ada perspektif
baru yang terbangun disana.
Sama
halnya dengan membaca tanpa menulis. Sangat percuma jika buah pemikiran hasil
apa yang didapat setelah membaca tidak dibagi ke orang-orang di sekitar kita,
baik itu lewat blog (apa yang seperti saya lakukan sekarang), share into twitter, status update in
facebook, mengirim opini ke surat kabar atau majalah, atau malah lebih
keren lagi bila dibukukan. Tidak masalah jika bacaan kita komik sekalipun.
Sayapernah membaca buku mengenai agama Buddha dalam bentuk komik. Dan penerbit Resist Book pun pernah menerbitkan komik
tentang feminisme untuk pemula. Dan menurut saya, cara itu sangatlah menarik
karena mudah dimengerti.
Berbicara
tentang membaca tanpa menulis, saya jadi teringat salah satu teman di kampus
saya. Sebut saja E. Tiap hari kerjannya nongkrong di kantin dan berceloteh
tentang banyak hal, terutama cerita tentang isi buku yang baru dibacanya.
Setiap E berbicara, dari awal sampai akhir penjelasan, tak ada yang boleh
interupsi. Awalnya saya kagum pada si E dan menganggap E sangat cerdas karena
tahu banyak hal. Tapi lama kelamaan, saya heran, kenapa si E ini rela
berceloteh hingga mulut berbusa dengan topik selalu berbeda di setiap harinya,
yang mana topik tersebut ia pilih sesuka hatinya. Ditambah lagi gossip-gossip
bermunculan tentang si E yang katanya ‘ingin pinter sendiri’, ‘omdo alias omong
doang’, ‘pelit ilmu’, ‘pencitraan biar dikata intelektual’, dan lain-lain.
Mendengar gossip itu semua semakin memperparah penasaran saya terhadap si E.
Saya pun iseng bertanya, “E, kenapa kamu tidak menulis?”
Lucunya, dia malah balik
bertanya, “Kenapa saya mesti menulis?”
Dengan berani aku menjawab, “Biar
semua ilmu yang kamu sebarkan di kantin itu tidak cepat menghilang seperti angin.”
Mendengar jawabanku, si E
tertegun. Mungkin tersinggung. “Kok mirip angin?”
“Ya
seperti angin yang hanya sementara terasa lalu pergi begitu saja tak berbekas.
Persis kamu. Ucapanmu bisa saja menempel di otak teman-teman, tapi bila tidak
ada benda atau karya nyata yang bisa berfungsi sebagai pengingat ucapanmu, itu
artinya percuma. Apalagi kalau kamu sedang berbicara benar-benar satu arah.
Kamu sangat mendominasi. Itu forum diskusi, bukan khotbah jumatan, E.
Teman-teman yang lain kan pasti ingin bertanya sama kamu.”
“Saya
belom siap menulis. Bukan karena saya nggak bisa menulis, tapi karena hhmmmm
karena apa yang selama ini saya sampaikan sebenarnya hanya terbatas dari apa
yang saya terima dari buku yang saya baca. Saya takut feedback. Tapi saya sadar sebenarnya pengetahuan saya ini masih sangat
terbatas. Dan dengan menulis sama saja memperlihatkan kelemahan saya di depan
teman-teman. That’s why I love talking
more than writing.” akunya.
Jawaban dari berbagai gossip teman-teman pun
terjawab sudah kini.
Nah dengan begitu,
walaupun susah, tapi percayalah aktivitas menulis dan membaca itu akan lebih
indah bila jalan beriringan dan saling mendukung satu sama lain. Seperti yang
saya katakan di awal tulisan ini, menulis dan membaca ibarat sepasang kekasih
yang saling melengkapi satu sama lain. Bila dirasa telah dapat pengetahuan
setelah membaca dan siap menulis, ya mulailah dengan menyusun kerangka berpikir
terlebih dahulu. Namun apabila di dalam pembuatan kerangka berpikir atau ketika
mengerjakan inti tulisan si penulis mengalami stuck (yang saya yakin ini pasti akan terjadi) mau tidak mau
penulis musti membaca lagi. Baik itu membaca buku yang sama atau referensi
pendukung lainnya.
Oh iya, yang
terakhir. Disamping niatan melakukan riset, lebih kongkrit lagi kalau hasil dari
apa yang kita baca dan tulis benar-benar dipraktekkan di kehidupan nyata.
Semisal kamu berbicara tentang pemberdayaan masyarakat, lebih keren kalau kamu mengimplementasikannya
di realita. Jadi hal ini bisa juga berperan sebagai penyempurna bacaan dan tulisan
yang kita buat.
So now going to my closing statement: Jangan
malas membaca dan jangan takut menulis!