Tahun 1965 dibingkai oleh Joshua
Oppenheimer membuahkan karya satir “The Act Of Killing” tentang kekecewaan,
ketakutan, kesadisan bercampur jadi satu menjadi tinta darah sejarah kelam Indonesia . Yang
miskin menjadi buas, si kaya memelihara keberutalan. Manusia tidak punya jiwa
kemanusian bukan hanya tragedi namun ironi, karena terkontaminasi oleh uang dan
kuasa.
Kejahatan
jelas membiasa, ditengah parodi politik pembantai umat manusia. Kiranya hal itu terbesit di kepala, saat menonton tayangan absurd antara
kejahatan dan kebaikan pada tubuh yang sama, Anwar Congo , seorang Jagal dari sumatra penuh
gaya saat
mencabut nyawa. Disisi lain, Anwar congo adalah sosok pecinta keluarga
yang mengajarkan cucunya kebaikan dan kasih sayang, terlihat dari kepolosannya
meminta maaf pada seekor bebek yang dipukul cucunya. Joshua ingin menunjukan moralitas
yang penuh kontradiksi akibat terkontaminasi kondisi politik.
Kemanusiaan terancam oleh kepungan
kekerasan, kebencian yang menghibur. Ilusi-ilusi dari penguasa terus
direproduksi, hukum hanya menjadi solusi palsu membuat jutaan orang diam
membatu. Reaksi media juga begitu, mengabarkan berita pembantaian dengan bangga
bak pahlawan penumpas kejahatan. Yang waras hanya menutup mata, seolah tak
peduli karena takut dihabisi oleh polisi dan TNI.
Kini zaman telah bergerak, Anwar
Congo bangga sekaligus menyesal dengan apa yang dilakukan, ia hanyalah salah
satu dari ratusan jagal yang jujur memberi pengakuan tentang banalitas (dangkal)
titik nadir kemanusiaan. Sebagian orang menganggap dialah pahlawan sejati
disaat yang sama orang mengecam tindakan buas pada masa lalu. Yang tampak
samar-samar akan menjadi jelas, bahwa Anwar Congo hanyalah korban dari kebiadapan orang-orang
yang sebenarnya duduk manis di pemerintahan dan asyik bermain golf. Merekalah yang memanfaatkan kemiskinan menjadi mesin pembunuhan masal. Mereka
juga yang membuat seorang yang baik memegang senjata. Walau zaman orde baru
telah berlalu, mereka masih memimpin negeri, hingga kini kejahatannya hanya
menjadi cerita di pagi hari sambil minum kopi dan menonton berita di televisi.
untuk film sepanjang itu, tulisan empat paragraf ini serasa tidak setimpal.
BalasHapus