Kamis, 14 Maret 2013

THE ACT OF KILLING: Moralitas Yang Terkontaminasi


         Tahun 1965 dibingkai oleh Joshua Oppenheimer membuahkan karya satir “The Act Of Killing” tentang kekecewaan, ketakutan, kesadisan bercampur jadi satu menjadi tinta darah sejarah kelam Indonesia. Yang miskin menjadi buas, si kaya memelihara keberutalan. Manusia tidak punya jiwa kemanusian bukan hanya tragedi namun ironi, karena terkontaminasi oleh uang dan kuasa.

Kejahatan jelas membiasa, ditengah parodi politik pembantai umat manusia. Kiranya hal itu terbesit di kepala, saat menonton tayangan absurd antara kejahatan dan kebaikan pada tubuh yang sama, Anwar Congo, seorang Jagal dari sumatra penuh gaya saat mencabut nyawa. Disisi lain, Anwar congo adalah sosok pecinta keluarga yang mengajarkan cucunya kebaikan dan kasih sayang, terlihat dari kepolosannya meminta maaf pada seekor bebek yang dipukul cucunya. Joshua ingin menunjukan moralitas yang penuh kontradiksi akibat terkontaminasi kondisi politik.

            Kemanusiaan terancam oleh kepungan kekerasan, kebencian yang menghibur. Ilusi-ilusi dari penguasa terus direproduksi, hukum hanya menjadi solusi palsu membuat jutaan orang diam membatu. Reaksi media juga begitu, mengabarkan berita pembantaian dengan bangga bak pahlawan penumpas kejahatan. Yang waras hanya menutup mata, seolah tak peduli karena takut dihabisi oleh polisi dan TNI. 

            Kini zaman telah bergerak, Anwar Congo bangga sekaligus menyesal dengan apa yang dilakukan, ia hanyalah salah satu dari ratusan jagal yang jujur memberi pengakuan tentang banalitas (dangkal) titik nadir kemanusiaan. Sebagian orang menganggap dialah pahlawan sejati disaat yang sama orang mengecam tindakan buas pada masa lalu. Yang tampak samar-samar akan menjadi jelas, bahwa Anwar Congo hanyalah korban dari kebiadapan orang-orang yang sebenarnya duduk manis di pemerintahan dan asyik bermain golf. Merekalah yang memanfaatkan kemiskinan menjadi mesin pembunuhan masal. Mereka juga yang membuat seorang yang baik memegang senjata. Walau zaman orde baru telah berlalu, mereka masih memimpin negeri, hingga kini kejahatannya hanya menjadi cerita di pagi hari sambil minum kopi dan menonton berita di televisi.

1 komentar:

  1. untuk film sepanjang itu, tulisan empat paragraf ini serasa tidak setimpal.

    BalasHapus