Jumat, 15 Maret 2013

PARSINI, SI WANITA TANGGUH




Ia selalu terlihat ceria dan bersemangat. Raut wajahnya tak pernah memperlihatkan lelah apalagi marah. Ia selalu ramah kepada siapapun. Masih segar dalam ingatan saya saat pertama kali bertemu beliau. Ketika itu di siang bolong, tepatnya di ruko seberang Rita Pasaraya dan depan Duta Mode, beliau memarkirkan mobil saya. Walaupun cuaca panas akibat terik matahari di siang hari sangat mencolok waktu itu, ia tetap tersenyum dan menyapa. Saat itulah saya berkenalan dengannya. Beliau bernama Parsini. Ya, dia seorang wanita sekaligus ibu. Dan dia tukang parkir wanita pertama yang pernah saya kenal.

            “Ibu senang deh kalau diwawancara, itu artinya banyak orang yang perhatian sama ibu dan juga ibu punya banyaaaak teman hehehehe” ucapnya dengan ceria sebelum saya memulai wawancara di lokasi kerjanya.
            Meskipun selama proses wawancara sering terputus karena ada kendaraan yang hendak parkir atau keluar, tapi kami tetap melanjutkan obrolan dengan seru. Tak pernah senyum di bibir saya pupus selama berbincang dengan ibu Parsini. Cara bicaranya yang lucu ditambah tubuh gempalnya yang cekatan membuat ibu Parsini terlihat lebih menarik di mata saya.
            Ia pun bercerita banyak mengenai hidupnya. Ternyata dibalik keceriaannya, sebenarnya ia memiliki masa lalu yang tak begitu mengenakkan. Permasalahan seperti putus sekolah di bangku kelas 4 sekolah dasar, setelah itu menjadi pembantu dan menumpang di rumah saudara di Jakarta, sampai nekat berjualan di tengah kejamnya kehidupan Jakarta, itu semua telah ia lalui dengan besar hati. “Hidup itu penuh perjuangan mba, apalagi untuk orang yang tidak mampu seperti saya, beban saya luar biasa beratnya. Tapi kita harus melalui semua itu dengan semangat!” ujar ibu Parsini kepada saya sambil mengepal tangannya.
Di sela-sela jawaban beliau pasti mengandung pesan yang secara tidak langsung ‘menancap’ di kepala saya dan takkan pernah saya lupakan. Sambil sesekali mengelap keringat di dahinya, ibu Parsini terus bercerita pengalamannya selama di Jakarta hingga kembali lagi ke Purwokerto. Selain tidak tahan dengan kondisi di Jakarta, satu-satunya hal yang membuatnya balik lagi ke Purwokerto adalah, “Saya kangen mba dengan kota ini. Karena disinilah saya lahir dan dibesarkan. Pokoknya kota Purwokerto ini ngangenin sekali” aku bu Parsini.
Setelah pindah ke Purwokerto ia mencoba melamar di suatu toko bahan, tetapi karena bosnya masih muda dan suka bermain judi,  bu Parsini pun memutuskan untuk keluar. Sempat beberapa lama ia tidak bekerja, namun karena tuntutan kebutuhan, ia mulai berpikir jenis pekerjaan apa yang fleksibel waktu supaya ia tetap bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Akhirnya setelah dipikir masak-masak, ia memilih menjadi tukang parkir. Keputusannya tersebut didukung oleh keluarga, terutama suaminya yang telah terlebih dahulu menjadi tukang parkir.
“Memang sih tukang parkir sering disebut-sebut sebagai pekerjaan laki-laki, tapi disini ibu nggak terlalu mikirin itu ah. Yang lebih ibu pentingin bagaimana kebutuhan keluarga tercukupi dan melihat anak-anak ibu bisa sekolah. Ya selama tukang parkir itu pekerjaan yang halal ya nggak apa-apa. Daripada jadi pengangguran di rumah tanpa menghasilkan apa-apa.”
Dari hasil kerja keras ibu Parsini dan suaminya, mereka dapat menyekolahkan kedua anaknya. “Anak ibu yang pertama lulusan D3 Sastra Inggris Unsoed lho mba. Sekarang sudah menikah lalu ikut suaminya kerja di Jakarta. Sekarang sudah bekerja juga jadi guru SD di Cakung. Alhamdulillah beban ibu berkurang satu. Sekarang tinggal nyekolahin si bungsu saja.” katanya seru sekali.  
Selama bekerja penampilan bu Parsini sengaja ditata seperti laki-laki dengan rambut digulung dan dimasukkan ke dalam topi kuning Unsoed. Gaya memarkirnya pun tidak kalah tegas seperti laki-laki. Bahkan bu Parsini terlihat lebih galak dibandingkan dengan suaminya yang juga menjaga lahan parkir di sebelahnya.  
Profesi ibu Parsini memang terbilang menarik karena tukang parkir seringkali lebih diidentifikasikan profesi untuk laki-laki, namun bu Parsini dapat membantah semua itu. Bu Parsini justru bersyukur telah memilih profesi yang telah 20 tahun ia geluti karena beliau menjadi lebih dikenali oleh orang-orang yang pernah ditemuinya. Bahkan bu Parsini mengaku ia sering didatangi oleh media untuk diwawancara maupun direkam dan masuk televisi. Sudah pasti itu merupakan kebanggaan tersendiri baginya.
Sebelum saya pamit pulang, tidak lupa bu Parsini memberikan banyak pesan sambil menyentuh bahu saya. Beliau mengajari saya banyak hal dan membuka mata hati saya untuk terus semangat menjalani hidup, walau seberat apapun beban itu.

1 komentar:

  1. Ceritanya bagus, dari memarkir bu Parsini bisa menyekolahkan anak sampai lulus universitas. Lain kali kalo diminta bayar parkir harus ingat cerita ini.

    BalasHapus