Rabu, 02 Januari 2013

MENULIS DAN MEMBACA


Oleh: Laras Maharani


Ibarat sepasang kekasih yang saling melengkapi, begitulah saya menganalogikan kata ‘menulis dan membaca’. Terasa kosong bila menulis tanpa membaca dan terasa percuma pula bila membaca tanpa menulis.
Menjadi penulis (apalagi yang ingin sampai terkenal dan karya tulisnya terpajang di toko buku dengan predikat best-seller) pastilah harus membaca terlebih dulukarena menulis bukan hanya soal menghasilkan suatu karya tulis, tetapi juga soal bagaimana metode berpikir dapat berjalan secara teratur yang diiringi peningkatan kognitif, ketajamananalisis, serta semangat mencari tahu. Semua itu mudah ditemukan, entah dengan membaca buku, surat kabar, film, tulisan-tulisan di sosial media, atau membaca fenomena-fenomena yang ada di sekitar kita. Jika asal tulis, bisa dipastikan tulisan-tulisan yang dihasilkan terlihat stagnan, membosankan, dan kalah berisi jika dibandingkan dengan tulisan yang menggunakan riset sebelumnya. Namun sayangnya, sekarang ini makin buanyak sekali bisa kita temukan buku yang isinya cuma asal cuap, berisi motivasi, atau lagi-lagi persoalan cinta yang sepele. Apalagi ditambah dengan isu semakin menurunnya minat baca di Indonesia. Orang-orang lebih memilih asyik baca timeline twitter atau facebook yang mana isinya kebanyakan curahan hati, keluhan, atau seputar kehidupan orang lain yang sebenarnya tidak penting untuk diketahui. Maka tidaklah heran bila semakin banyak saja tulisan berisi asumsi sesat, opini tidak berdasar, dan ditambah buku-buku mainstream sebagai pengkonstruksi untuk selalu tampil ‘sepatutnya’ di depan khalayak. Cara agar tampil cantik, tips tampil hijab sopan namun tetap gaya, cara bagaimana bisa kaya mendadak, dan lain sebagainya. Hal itu membuktikan bahwa semakin banyak pula tulisan yang hanya sekedar tulisan. Tidak ada ide yang berkembang, juga tidak ada perspektif baru yang terbangun disana.
                Sama halnya dengan membaca tanpa menulis. Sangat percuma jika buah pemikiran hasil apa yang didapat setelah membaca tidak dibagi ke orang-orang di sekitar kita, baik itu lewat blog (apa yang seperti saya lakukan sekarang), share into twitter, status update in facebook, mengirim opini ke surat kabar atau majalah, atau malah lebih keren lagi bila dibukukan. Tidak masalah jika bacaan kita komik sekalipun. Sayapernah membaca buku mengenai agama Buddha dalam bentuk komik. Dan penerbit Resist Book pun pernah menerbitkan komik tentang feminisme untuk pemula. Dan menurut saya, cara itu sangatlah menarik karena mudah dimengerti.
                Berbicara tentang membaca tanpa menulis, saya jadi teringat salah satu teman di kampus saya. Sebut saja E. Tiap hari kerjannya nongkrong di kantin dan berceloteh tentang banyak hal, terutama cerita tentang isi buku yang baru dibacanya. Setiap E berbicara, dari awal sampai akhir penjelasan, tak ada yang boleh interupsi. Awalnya saya kagum pada si E dan menganggap E sangat cerdas karena tahu banyak hal. Tapi lama kelamaan, saya heran, kenapa si E ini rela berceloteh hingga mulut berbusa dengan topik selalu berbeda di setiap harinya, yang mana topik tersebut ia pilih sesuka hatinya. Ditambah lagi gossip-gossip bermunculan tentang si E yang katanya ‘ingin pinter sendiri’, ‘omdo alias omong doang’, ‘pelit ilmu’, ‘pencitraan biar dikata intelektual’, dan lain-lain. Mendengar gossip itu semua semakin memperparah penasaran saya terhadap si E. Saya pun iseng bertanya, “E, kenapa kamu tidak menulis?”
Lucunya, dia malah balik bertanya, “Kenapa saya mesti menulis?”
Dengan berani aku menjawab, “Biar semua ilmu yang kamu sebarkan di kantin itu tidak cepat menghilang seperti angin.”
Mendengar jawabanku, si E tertegun. Mungkin tersinggung. “Kok mirip angin?”
                “Ya seperti angin yang hanya sementara terasa lalu pergi begitu saja tak berbekas. Persis kamu. Ucapanmu bisa saja menempel di otak teman-teman, tapi bila tidak ada benda atau karya nyata yang bisa berfungsi sebagai pengingat ucapanmu, itu artinya percuma. Apalagi kalau kamu sedang berbicara benar-benar satu arah. Kamu sangat mendominasi. Itu forum diskusi, bukan khotbah jumatan, E. Teman-teman yang lain kan pasti ingin bertanya sama kamu.”
                “Saya belom siap menulis. Bukan karena saya nggak bisa menulis, tapi karena hhmmmm karena apa yang selama ini saya sampaikan sebenarnya hanya terbatas dari apa yang saya terima dari buku yang saya baca. Saya takut feedback. Tapi saya sadar sebenarnya pengetahuan saya ini masih sangat terbatas. Dan dengan menulis sama saja memperlihatkan kelemahan saya di depan teman-teman. That’s why I love talking more than writing.” akunya.
                 Jawaban dari berbagai gossip teman-teman pun terjawab sudah kini.
               
Nah dengan begitu, walaupun susah, tapi percayalah aktivitas menulis dan membaca itu akan lebih indah bila jalan beriringan dan saling mendukung satu sama lain. Seperti yang saya katakan di awal tulisan ini, menulis dan membaca ibarat sepasang kekasih yang saling melengkapi satu sama lain. Bila dirasa telah dapat pengetahuan setelah membaca dan siap menulis, ya mulailah dengan menyusun kerangka berpikir terlebih dahulu. Namun apabila di dalam pembuatan kerangka berpikir atau ketika mengerjakan inti tulisan si penulis mengalami stuck (yang saya yakin ini pasti akan terjadi) mau tidak mau penulis musti membaca lagi. Baik itu membaca buku yang sama atau referensi pendukung lainnya.
Oh iya, yang terakhir. Disamping niatan melakukan riset, lebih kongkrit lagi kalau hasil dari apa yang kita baca dan tulis benar-benar dipraktekkan di kehidupan nyata. Semisal kamu berbicara tentang pemberdayaan masyarakat, lebih keren kalau kamu mengimplementasikannya di realita. Jadi hal ini bisa juga berperan sebagai penyempurna bacaan dan tulisan yang kita buat. 

So now going to my closing statement: Jangan malas membaca dan jangan takut menulis!


3 komentar:

  1. Benar juga. Menulis setelah membaca sebuah buku akan membuat kita bisa mengingat isi bukunya dengan baik, dan lebih jauh lagi bisa membantu kita memahami apa isi buku tersebut.

    seperti kata ungkapan dalam bahasa Yunani, "Scripta Manen, Verba Volent"

    BalasHapus
  2. Thank you for your comment then.

    Ya, selain menjadi pengingat, menulis setelah membaca bisa lebih meyakinkan apakah ilmu yang kita dapat sudah lengkap dan valid. Tentu saja, kesempurnaan itu dengan membuka literatur lain yang linier dengan tema yg sedang dibahas.
    Maka dari itu, jangan pernah puas dengan apa yang kita dapatkan agar terus mencari dan mencari. Scripta Manen, Verba Volent!

    BalasHapus
  3. jika dunia kecil kalian adalah menulis, maka matilah dunia kecil itu jika tidak di sertai membaca. semangat terus ya sahabat :)

    BalasHapus