Kamis, 28 Maret 2013

Begalan, Seni Teatrikal Rakyat Khas Banyumasan Sarat Dengan Kawruh


Asal mula terjadinya begalan menurut beberapa budayawan, yaitu konon pada zaman dahulu kala ada dua kerajaan yaitu Mataram dan Padjajaran. Kedua kerajaan itu berniat untuk menggelar acara pernikahan anaknya. Lalu pada saat Raja Padjajaran menuju ke Kerajaan Mataram, di tengah perjalanan putra Raja Padjajaran hilang di tengah alas roban (hutan yang sangat lebat), kemudian sang putra raja meninggal dimakan sarduloseto (macan putih). Begalan merupakan salah satu kesenian tradisional dari pemerintahan kabupaten Banyumas yang biasa dipertunjukkan dalam acara mantenan.
Menurut legenda, Begalan berasal dari kata Begalan dalam bahasa Jawa artinya perampokan. Menurut anggapan dari budaya, tradisi Begalan pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Bupati Banyumas yang ke XIV, yaitu Raden Adipati Tjokronegoro sekitar tahun 1850. Pada saat Adipati Wirasaba akan meninggalkan putri bungsunya yang bernama Dewi Sukesi dengan Adipati Tjokronegoro XIV yang bernama Tirtokencono.
Saat Adipati akan ngunduh Putri Sukesi, Adipati melakukan perjalanan dari Wirasaba menuju Banyumas. Pada saat Adipati sampai di sebuah hutan dikenal angker dan banyak begalnya, para rombongan dihadang oleh para pembegal dan meminta barang berharga dari para rombongan. Para pengawal yang memiliki ilmu kanuragan pun melawan para pembegal tersebut dan berhasil mempertahankan barang-barang berharganya. Para pelaku begalan terdiri atas 2 orang yang menjadi wakil dari para mempelai. Dari mempelai pria bernama Surantani dan dari wakil mempelai wanita disebut Suradeta. Surantani bertugas membawa peralatan dapur beronong kepang yang dipikul. Surandeta bertugas menjaga pengantin wanita dan membawa pedang wlira yang berfungsi sebagai pemukul periuk nasi. Setelah dipukul, penonton dapat mengambil barang-barang yang dibawa Surantani.
Setelah kejadian tersebut, maka masyarakat sekitar memaknai peristiwa ini dengan mengadakan upacara Begalan pada saat upacara pernikahan. Mengapa disebut Begalan, karena pada saat itu sang putra Raja Padjajaran meninggal karena dibegal oleh Sarduloseto, sehingga apabila misalnya ada pengantin sulung dengan sulung harus dibegal. Begalan merupakan suatu ritual dari serangkaian upacara pernikahan.
            Kata “begalan” jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti perampokan. Begalan merupakan simbol bergantinya status keperjakaan seorang laki–laki menjadi seorang suami. Namun tidak semua calon pengantin menyelenggarakan upacara seperti ini sebab upacara ini hanya diperuntukkan bagi calon pengantin laki–laki yang merupakan anak sulung (mbarep) dan anak bungsu (ragil), sulung dengan sulung. Akhirnya Begalan menjadi suatu ritual yang dipercayai masyarakat sekitar khususnya wilayah Banyumas dan sekitarnya. Dengan menyelenggarakan upacara tersebut, masyarakat mempercayai dan memohon keselamatan bagi kedua mempelai pengantin.



Dalam melakukan upacara begalan ini terdapat dua jumlah pemain. Satu orang mewakili calon pengantin laki–laki yang disebut Surantani dan satu lagi mewakili calon pengantin perempuan yang disebut Surandeta. Peralatan yang digunakan dalam upacara Begalan disebut Brenong Kepang dan Wlira. Brenong Kepang ialah barang bawaan berupa peralatan dapur dan aneka barang bawaan lainnya yang dipikul oleh Surantani.

Berbagai jenis dapur itu diantaranya ilir, cething, kukusan, saringan ampas, tampah, serokan, enthong, siwur, irus, kendhil, dan wangkring. Selain itu dibawa juga berbagai macam ubi-ubian, buah-buahan, pala kesimpar, kembang tujuh rupa, beras kuning, pisang raja, pisang emas, dan telur ayam kampung, sedangkan Surandeta membawa barang yang disebut wlira, yaitu pedang mainan yang terbuat dari belahan pohon pinang yang digunakan sebagai sarana (senjata) untuk membegal.
Upacara ini diselenggarakan sebelum ijab kabul dilaksanakan, tepatnya ketika pengantin laki-laki memasuki halaman rumah calon pengantin perempuan. Dalam upacara ini terdapat kombinasi seni tari, seni suara, dan seni lawak yang dimainkan secara bersamaan dalam bentuk dialog antar pemainnya dan diikuti juga dengan gerak tari. Upacara ini diiringi dengan alunan musik yang disebut gending. Adapun irama gending yang mengiringi upacara tersebut diantaranya irama ricik-ricik, cirebonan, gunung sari, gudril, dan eling-eling. Busana yang dipakai pemain Surantani dan Suradenta berupa pakaian adat Jawa berwarna hitam dengan memakai iket wulung jeblakan, dan tidak memakai alas kaki.
Adapun dialog yang digunakan dalam upacara itu hanya sebatas pada pemaknaan terhadap brenong kepang (peralatan dapur). Dialog yang digunakan kedua pemain dalam Begalan ini menggunakan bahasa Banyumasan. Prosesi dialognya dimulai dengan penyebutan salah satu nama dari brenong kepang oleh Surantani, kemudian Suradenta mengartikannya dan juga berlaku sebaliknya sembari diiringi dengan lawakan yang dapat mengundang tawa.
Penyebutan barang bawaan tersebut diantaranya ilir (kipas yang terbuat dari anyaman bambu), dan cething (tempat untuk menaruh nasi). Ilir mengandung nasehat dalam mengarungi rumah tangga yang baru, sepasang suami istri harus mampu membedakan antara pergaulan yang baik dan buruk dalam bermasyarakat. Sementara cething mengandung nasehat bahwa dalam hidup bermasyarakat sepasang suami istri harus mempunyai tatanan sehingga tidak berbuat semaunya sendiri. Dan masih banyak lagi penyebutan baran-barang lainnya yang terdapat dalam upacara ini. Biasanya setelah upacara Begalan ini selesai, brenong kepang atau peralatan dapur yang dibawa menjadi rebutan masyarakat sekitar yang ikut menyaksikan prosesi tersebut.
Dalam ritual ini terdapat nilai–nilai dan makna–makna yang terkandung di dalamnya. Dalam ritual Begalan ini terdapat makna tekstual, makna simbolik, dan makna kontekstual.

  • Makna Tekstual dalam upacara Begalan ini adalah memberikan bekal kepada pengantin tentang dunia rumah tangga, tentang apa yang seharusnya dilakukan pada saat memulai hidup berumah tangga.
  • Makna simbolik ini berkaitan dengan filosofi dari Begalan tersebut. Filosofinya antara lain :

1. Wangking/pikulan adalah mengisyaratkan simbol mikul dhuwur mendhem
jero. Artinya orang hidup jejodohan selalu ada yang berat dan ada yang ringan. Oleh karenanya segala perkara harus direngkuh bareng.
1.      Ilir yaitu dapat bermakna jagad besar dan jagad kecil. Orang berumah tangga baru memasuki jagad cilik. Jagad dalam ilir itu ada empat sudut, yang berarti bahwa pengantin harus bisa memberikan kesejukan kepada pojok papat (empat) yaitu bapak, ibu, mertua laki-laki, dan mertua perempuan. Fungsi ilir adalah dapat ngadem-ngademi (penyejuk) sesama pasangan jika telah terjadi kekisruhan. Selain itu ilir juga bersifat mendatangkan angin untuk mengusir bau yang tidak sedap dalam kehidupan berumah tangga.
2.      Cheting berarti wadah nasi (tempat nasi dari bambu). Artinya manusia hidup berada dalam wadah (dunia) yang memiliki aturan-aturan tertentu. Aturan-aturan itu berarti syariat islam.
3.      Kukusan, kaku pisan/kakune mung sepisan. Orang hidup harus kaku atau kokoh dalam memegang 5 M yakni metu yakni harus keluar untuk bebrayan dengan tetangga tepalih. Mengkurep berarti eling dumateng kekalih tiang sepah. Mlumah berarti eling kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Modot berarti modot pemikirane. Atau ayo mbangun katresnan lan: mencapai cita-cita kalian. Pemikirane ingkang modot dan berkembang.
4.      Centong berarti keadilan dalam rumah tangga. Karena centong selalu digerakan kekanan dan kekiri. Yang menggambarkan kedua pengantin laki-laki dan perempuan perlu adil dan seimbang dalam segala gerakan.
5.      Irus berarti tumindake sing lurus anggone jejodohan. Irus juga bermakna singkatan: i: iman, r: rukun, u: usaha, s: sekalian. Hal ini berarti: ayo pada usaha bebarengan kanthi rukun lan guyub di dasari keimanan. Fungsi irus adalah untuk mencicipi makanan. Artinya laki-laki hendaknya tidak selingkuh dan mencicipi istri orang.
6.      Siwur artinya asihe ojo diawur-awur artinya seseorang pengantin jangan selingkuh.
7.      Tampah, berfungsi kanggo nyunggi. Artinya seorang istri atau suami harus bisa nyunggi atau menjaga aib dari kekurangan kedua belah pihak. Selain itu tampah juga berfungsi untuk menyeleksi mana beras dan mana kotoran yang bukan beras. Oleh karenanya perkataan dan perbuatan perlu diseleksi mana yang baik mana yang buruk.
8.      Pari berarti mapar tur keri artinya harus memperhatikan bobot, bebet, bibit dan kalau sudah tua hendaknya pandai merunduk.
9.      Ciri dan mutu. Ciri dan mutu harus seimbang cara memakainya. Jika tidak seimbang maka terjadi musibah.
10.  Suket; suwe luwih raket.
11.  Suluh; kanggo mbakar-mbakar. Jadi jangan sampai kebakar antara kedua pengantin.
12.  Kendil; ken dadi lancer. Artinya sakinah, mawadah dan warohmah

·         Makna Kontekstual dari Begalan ini adalah dengan adanya menyelenggarakan upacara adat Begalan ini terdapat suatu permohonan keselamatan di dunia terhadap kehidupan pengantin berdua dalam mengarungi kehidupan barunya. Permohonan keselamatan ini seperti diwujudkan dalam brenong kepang (barang bawaan yang berupa peralatan dapur) yang memiliki makna masing – masing barang bawaan tersebut.

KESIMPULAN (ebeg 2)
Nilai merupakan sesuatu yang dipercaya masyarakat yang mempunyai tolak ukur baik / tidak. Nilai yang dapat diambil dari tradisi Begalan ini adalah sebagai piwulang (pelajaran), nasehat, dan bekal bagi calon pengantin dalam mengarungi hidup berumah tangga.



Sabtu, 23 Maret 2013

ORDER OUT OF CHAOS


Komunikasi memiliki makna subjektif maupun objektif bagi pelaku yang terlibat di dalamnya. Komunikasi dialog sangat mempengaruhi proses suatu hubungan dan sebuah tatanan. Komunikasi dinilai memiliki pola-pola interpretasi, maksudnya penafsiran bagaimana caranya memahami sebuah isi pesan dan bagaimana ia membentuk semacam makna sehingga jika makna-makna tersebut tidak bisa diterima atau bertentangan, maka akan menimbulkan chaos atau konflik karena komunikasi di satu sisi merupakan alat bagaimana sebuah pesan penyampaian tanda-tanda dari simbol itu menjadi basic untuk melihat proses komunikasi itu sendiri.
Ada anggapan menurut Anderson bahwa jika ada proses komunikasi yang penafsirannya tidak bisa dipahami bersama atau ada sudut pandang yang berbeda terhadap dunia, maka akan menimbulkan potensi chaos atau konflik. Sehingga perlu ditempuh upaya untuk mengatasi miss understanding maupun miss interpretation
Teori Interaksionisme Simbolik yang dikembangkan oleh Herbert Mead mengungkapkan interaksi sesama manusia terhadap objek maupun antar manusia dan peristiwa-peristiwa yang dipahami dan dimaknainya tergantung pada simbol-simbol dan tanda-tanda yang diserap. Seseorang akan mendefinisikan situasi realitasnya berdasarkan persepsinya atas realitas tersebut. Bahasa merupakan medium yang dijadikan proses interaksi tersebut. Manusia mendefinisikan, memahami, dan menyadarinya berdasarkan pemahaman terhadap bahasa tersebut sehingga mempengaruhi proses sosialisasinya terhadap individu lainnya atau tradisi kultur proses sosialisasi (sosio-cultural tradition).
Pearce and Cronen melakukan definisi makna dan memanage makna tersebut. Teorinya mengungkapkan bahwa dalam proses dialog atau conversation, proses komunikasi mengkonstruksi atau membentuk realitas sosial mereka sendiri secara stimultan melalui proses yang bertahap lalu membentuk dan memaknai sudut pandangnya atas dunia. Mereka dapat mencapai satu kesepahaman bersama dalam konteks common understanding. Mereka mencapai satu pemahaman secara koordinatif yang memungkinkan dialog-dialog yang terjadi memberikan proses pembelajaran dan pengajaran serta peningkatan kualitas pemahaman terhadap orang lain.
Burgon dalam teorinya ‘penyimpangan komunikasi’ atau komunikasi yang destruktif mengatakan bahwa komunikasi yang didasarkan pada ekspektasi kepada orang lain menyebabkan proses kesalahpahaman dimana strateginya adalah melakukan konformitas (penyesuaian). Maksudnya, ketika sebuah makna-makna komunikasi ambigu (mendua) dan tidak jelas, maka akan menghasilkan titik-titik konflik atau kesalahpahaman bahkan pada tingkat tertentu dapat menimbulkan ketegangan atau agresifitas. Karenanya, upaya persuasif yang tak diharapkan dalam proses komunikasi antarpersona sebaiknya dihindarkan lalu mengubah proses komunikasinya menjadi searah, bisa diterima, dan sesuai harapan antara komunikan dan komunikatornya.
Buller dan Burgon mengungkapkan adanya proses kesimpangsiuran atau manipulasi dalam komunikasi yang disebabkan karena pemberian proses informasi yang berlebihan (overload) dimana melalui proses komunikasi tersebut responden biasanya termanipulasi bahkan terjadi bias kebenaran.
Altman dan Taylor mengungkap tentang teori penetrasi sosial. Bahwa hubungan antarpersona itu ditunjukan secara bertahap dimana tingkat kedekatan dan keakraban terjadi dalam proses yang lama dan bertahap yang selanjutnya membentuk konsep penetrasi sosial. Dalam hal ini komunikasi yang intens (terus menerus) terjadi dan akhirnya akan membentuk proses penetrasi sosial dimana individu dalam posisi ini tidak punya pilihan lain terhadap informasi yang diterimanya.     

Senin, 18 Maret 2013

REFORMASI PERGURUAN TINGGI



          Di tengah kompetisi perekonomian antarnegara, satu hal yang merupakan gejala umum adalah bahwa daya saing bangsa-bangsa yang unggul ditentukan oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). SDM yang kompeten dan professional seperti itu adalah lulusan dari perguruan tinggi yang memiliki visi jauh ke depan dalam melihat tren perubahan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. SDM seperti itulah yang dibutuhkan oleh bangsa kita. Oleh sebab itu, maka sudah saatnya perguruan tinggi di Indonesia mengubah total orientasi untuk tidak lagi menghasilkan lulusan yang hanya menjadi pencari kerja, melainkan menghasilkan lulusan yang “siap pakai” atau siap diterjunkan di berbagai bidang, sebagai professional yang capable dan dapat menyesuaikan diri dengan trend Iptek serta perekonomian dunia.
          Kita membutuhkan lulusan perguruan tinggi yang mampu bersaing secara meyakinkan, mampu bekerja dan dihargai kompetensinya, dimana pun di seantero jagad ini. Tentu tidaklah mudah untuk menghasilkan lulusan perguruan tinggi dengan kualitas seperti itu.
          Langkah pertama yang harus ditempuh adalah meningkatkan kualitas tenaga pengajar di semua perguruan tinggi di Tanah Air. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik melalui peningkatan kualifikasi secara regular, maupun melalui kerjasama pertukaran dosen dan peneliti dengan perguruan tinggi terkemuka di luar negeri.
          Hal lain yang sangat penting, namun belum mendapat perhatian di negeri kita adalah intensifikasi riset perguruan tinggi bersama sektor industri di berbagai bidang. Sektor industri semestinya menjadi mitra bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan berbagai riset ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis sumber daya alam.
          Dalam hal ini perlu digarisbawahi pernyataan dari Menteri Kelautan dan Perikanan, Dr. Ir. Fadel Muhammad, bahwa baru 8% dari potensi sumber daya bahari di Indonesia telah dimanfaatkan. Artinya, 92% dari kekayaan bahari yang sangat luar biasa itu belum dibidik oleh para peneliti dari perguruan tinggi di Tanah Air.
          Paradigma perguruan tinggi pun kini harus diubah agar para lulusan menyadari bahwa lahan pekerjaan bagi mereka tidak hanya berada di Indonesia, melainkan di negara mana pun yang membutuhkan SDM professional. Selain itu, pilihan investasi di perguruan tinggi perlu diperkaya untuk memberikan ruang bagi pengembangan investasi Iptek yang bertujuan menciptakan keunggulan dan nilai tambah untuk meningkatkan daya saing bangsa kita di pentas global.
          Dari perspektif demikian, maka pimpinan perguruan tinggi perlu mewajibkan semua tenaga pengajar melakukan penelitian di bidangnya masing-masing dan mempublikasikannya agar dapat menjadi bahan masukan, sekaligus sumber inspirasi bagi para dosen dan ilmuwan dari bidang yang sama atau terkait. Dengan keanekaragaman hayati serta hutan bahari yang amat luas di dasar laut Nusantara, mestinya Indonesia menjadi laboratorium Iptek raksasa yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta riset industri.
          Melihat semua ini, maka sudah saatnya perguruan tinggi di Indonesia mengevaluasi kembali orientasi proses belajar mengajar demi meningkatkan daya saing komunitas akademika dalam berkompetisi dengan bangsa lain. Oleh sebab itulah, maka reformasi orientasi perguruan tinggi adalah suatu kebutuhan yang mesti dilakukan sekarang, detik ini. 

Jumat, 15 Maret 2013

PARSINI, SI WANITA TANGGUH




Ia selalu terlihat ceria dan bersemangat. Raut wajahnya tak pernah memperlihatkan lelah apalagi marah. Ia selalu ramah kepada siapapun. Masih segar dalam ingatan saya saat pertama kali bertemu beliau. Ketika itu di siang bolong, tepatnya di ruko seberang Rita Pasaraya dan depan Duta Mode, beliau memarkirkan mobil saya. Walaupun cuaca panas akibat terik matahari di siang hari sangat mencolok waktu itu, ia tetap tersenyum dan menyapa. Saat itulah saya berkenalan dengannya. Beliau bernama Parsini. Ya, dia seorang wanita sekaligus ibu. Dan dia tukang parkir wanita pertama yang pernah saya kenal.

            “Ibu senang deh kalau diwawancara, itu artinya banyak orang yang perhatian sama ibu dan juga ibu punya banyaaaak teman hehehehe” ucapnya dengan ceria sebelum saya memulai wawancara di lokasi kerjanya.
            Meskipun selama proses wawancara sering terputus karena ada kendaraan yang hendak parkir atau keluar, tapi kami tetap melanjutkan obrolan dengan seru. Tak pernah senyum di bibir saya pupus selama berbincang dengan ibu Parsini. Cara bicaranya yang lucu ditambah tubuh gempalnya yang cekatan membuat ibu Parsini terlihat lebih menarik di mata saya.
            Ia pun bercerita banyak mengenai hidupnya. Ternyata dibalik keceriaannya, sebenarnya ia memiliki masa lalu yang tak begitu mengenakkan. Permasalahan seperti putus sekolah di bangku kelas 4 sekolah dasar, setelah itu menjadi pembantu dan menumpang di rumah saudara di Jakarta, sampai nekat berjualan di tengah kejamnya kehidupan Jakarta, itu semua telah ia lalui dengan besar hati. “Hidup itu penuh perjuangan mba, apalagi untuk orang yang tidak mampu seperti saya, beban saya luar biasa beratnya. Tapi kita harus melalui semua itu dengan semangat!” ujar ibu Parsini kepada saya sambil mengepal tangannya.
Di sela-sela jawaban beliau pasti mengandung pesan yang secara tidak langsung ‘menancap’ di kepala saya dan takkan pernah saya lupakan. Sambil sesekali mengelap keringat di dahinya, ibu Parsini terus bercerita pengalamannya selama di Jakarta hingga kembali lagi ke Purwokerto. Selain tidak tahan dengan kondisi di Jakarta, satu-satunya hal yang membuatnya balik lagi ke Purwokerto adalah, “Saya kangen mba dengan kota ini. Karena disinilah saya lahir dan dibesarkan. Pokoknya kota Purwokerto ini ngangenin sekali” aku bu Parsini.
Setelah pindah ke Purwokerto ia mencoba melamar di suatu toko bahan, tetapi karena bosnya masih muda dan suka bermain judi,  bu Parsini pun memutuskan untuk keluar. Sempat beberapa lama ia tidak bekerja, namun karena tuntutan kebutuhan, ia mulai berpikir jenis pekerjaan apa yang fleksibel waktu supaya ia tetap bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Akhirnya setelah dipikir masak-masak, ia memilih menjadi tukang parkir. Keputusannya tersebut didukung oleh keluarga, terutama suaminya yang telah terlebih dahulu menjadi tukang parkir.
“Memang sih tukang parkir sering disebut-sebut sebagai pekerjaan laki-laki, tapi disini ibu nggak terlalu mikirin itu ah. Yang lebih ibu pentingin bagaimana kebutuhan keluarga tercukupi dan melihat anak-anak ibu bisa sekolah. Ya selama tukang parkir itu pekerjaan yang halal ya nggak apa-apa. Daripada jadi pengangguran di rumah tanpa menghasilkan apa-apa.”
Dari hasil kerja keras ibu Parsini dan suaminya, mereka dapat menyekolahkan kedua anaknya. “Anak ibu yang pertama lulusan D3 Sastra Inggris Unsoed lho mba. Sekarang sudah menikah lalu ikut suaminya kerja di Jakarta. Sekarang sudah bekerja juga jadi guru SD di Cakung. Alhamdulillah beban ibu berkurang satu. Sekarang tinggal nyekolahin si bungsu saja.” katanya seru sekali.  
Selama bekerja penampilan bu Parsini sengaja ditata seperti laki-laki dengan rambut digulung dan dimasukkan ke dalam topi kuning Unsoed. Gaya memarkirnya pun tidak kalah tegas seperti laki-laki. Bahkan bu Parsini terlihat lebih galak dibandingkan dengan suaminya yang juga menjaga lahan parkir di sebelahnya.  
Profesi ibu Parsini memang terbilang menarik karena tukang parkir seringkali lebih diidentifikasikan profesi untuk laki-laki, namun bu Parsini dapat membantah semua itu. Bu Parsini justru bersyukur telah memilih profesi yang telah 20 tahun ia geluti karena beliau menjadi lebih dikenali oleh orang-orang yang pernah ditemuinya. Bahkan bu Parsini mengaku ia sering didatangi oleh media untuk diwawancara maupun direkam dan masuk televisi. Sudah pasti itu merupakan kebanggaan tersendiri baginya.
Sebelum saya pamit pulang, tidak lupa bu Parsini memberikan banyak pesan sambil menyentuh bahu saya. Beliau mengajari saya banyak hal dan membuka mata hati saya untuk terus semangat menjalani hidup, walau seberat apapun beban itu.

Kamis, 14 Maret 2013

THE ACT OF KILLING: Moralitas Yang Terkontaminasi


         Tahun 1965 dibingkai oleh Joshua Oppenheimer membuahkan karya satir “The Act Of Killing” tentang kekecewaan, ketakutan, kesadisan bercampur jadi satu menjadi tinta darah sejarah kelam Indonesia. Yang miskin menjadi buas, si kaya memelihara keberutalan. Manusia tidak punya jiwa kemanusian bukan hanya tragedi namun ironi, karena terkontaminasi oleh uang dan kuasa.

Kejahatan jelas membiasa, ditengah parodi politik pembantai umat manusia. Kiranya hal itu terbesit di kepala, saat menonton tayangan absurd antara kejahatan dan kebaikan pada tubuh yang sama, Anwar Congo, seorang Jagal dari sumatra penuh gaya saat mencabut nyawa. Disisi lain, Anwar congo adalah sosok pecinta keluarga yang mengajarkan cucunya kebaikan dan kasih sayang, terlihat dari kepolosannya meminta maaf pada seekor bebek yang dipukul cucunya. Joshua ingin menunjukan moralitas yang penuh kontradiksi akibat terkontaminasi kondisi politik.

            Kemanusiaan terancam oleh kepungan kekerasan, kebencian yang menghibur. Ilusi-ilusi dari penguasa terus direproduksi, hukum hanya menjadi solusi palsu membuat jutaan orang diam membatu. Reaksi media juga begitu, mengabarkan berita pembantaian dengan bangga bak pahlawan penumpas kejahatan. Yang waras hanya menutup mata, seolah tak peduli karena takut dihabisi oleh polisi dan TNI. 

            Kini zaman telah bergerak, Anwar Congo bangga sekaligus menyesal dengan apa yang dilakukan, ia hanyalah salah satu dari ratusan jagal yang jujur memberi pengakuan tentang banalitas (dangkal) titik nadir kemanusiaan. Sebagian orang menganggap dialah pahlawan sejati disaat yang sama orang mengecam tindakan buas pada masa lalu. Yang tampak samar-samar akan menjadi jelas, bahwa Anwar Congo hanyalah korban dari kebiadapan orang-orang yang sebenarnya duduk manis di pemerintahan dan asyik bermain golf. Merekalah yang memanfaatkan kemiskinan menjadi mesin pembunuhan masal. Mereka juga yang membuat seorang yang baik memegang senjata. Walau zaman orde baru telah berlalu, mereka masih memimpin negeri, hingga kini kejahatannya hanya menjadi cerita di pagi hari sambil minum kopi dan menonton berita di televisi.