Ia
selalu terlihat ceria dan bersemangat. Raut wajahnya tak pernah memperlihatkan
lelah apalagi marah. Ia selalu ramah kepada siapapun. Masih segar dalam ingatan
saya saat pertama kali bertemu beliau. Ketika itu di siang bolong, tepatnya di
ruko seberang Rita Pasaraya dan depan Duta Mode, beliau memarkirkan mobil saya.
Walaupun cuaca panas akibat terik matahari di siang hari sangat mencolok waktu
itu, ia tetap tersenyum dan menyapa. Saat itulah saya berkenalan dengannya. Beliau
bernama Parsini. Ya, dia seorang wanita sekaligus ibu. Dan dia tukang parkir
wanita pertama yang pernah saya kenal.
“Ibu
senang deh kalau diwawancara, itu artinya banyak orang yang perhatian sama ibu
dan juga ibu punya banyaaaak teman hehehehe” ucapnya dengan ceria sebelum saya
memulai wawancara di lokasi kerjanya.
Meskipun selama proses wawancara
sering terputus karena ada kendaraan yang hendak parkir atau keluar, tapi kami
tetap melanjutkan obrolan dengan seru. Tak pernah senyum di bibir saya pupus
selama berbincang dengan ibu Parsini. Cara bicaranya yang lucu ditambah tubuh
gempalnya yang cekatan membuat ibu Parsini terlihat lebih menarik di mata saya.
Ia pun bercerita banyak mengenai
hidupnya. Ternyata dibalik keceriaannya, sebenarnya ia memiliki masa lalu yang
tak begitu mengenakkan. Permasalahan seperti putus sekolah di bangku kelas 4
sekolah dasar, setelah itu menjadi pembantu dan menumpang di rumah saudara di
Jakarta, sampai nekat berjualan di tengah kejamnya kehidupan Jakarta, itu semua
telah ia lalui dengan besar hati. “Hidup itu penuh perjuangan mba, apalagi untuk
orang yang tidak mampu seperti saya, beban saya luar biasa beratnya. Tapi kita
harus melalui semua itu dengan semangat!” ujar ibu Parsini kepada saya sambil
mengepal tangannya.
Di
sela-sela jawaban beliau pasti mengandung pesan yang secara tidak langsung
‘menancap’ di kepala saya dan takkan pernah saya lupakan. Sambil sesekali mengelap
keringat di dahinya, ibu Parsini terus bercerita pengalamannya selama di
Jakarta hingga kembali lagi ke Purwokerto. Selain tidak tahan dengan kondisi di
Jakarta, satu-satunya hal yang membuatnya balik lagi ke Purwokerto adalah,
“Saya kangen mba dengan kota ini. Karena disinilah saya lahir dan dibesarkan.
Pokoknya kota Purwokerto ini ngangenin sekali” aku bu Parsini.
Setelah
pindah ke Purwokerto ia mencoba melamar di suatu toko bahan, tetapi karena
bosnya masih muda dan suka bermain judi, bu Parsini pun memutuskan untuk keluar. Sempat
beberapa lama ia tidak bekerja, namun karena tuntutan kebutuhan, ia mulai
berpikir jenis pekerjaan apa yang fleksibel waktu supaya ia tetap bisa
mengerjakan pekerjaan rumah. Akhirnya setelah dipikir masak-masak, ia memilih
menjadi tukang parkir. Keputusannya tersebut didukung oleh keluarga, terutama
suaminya yang telah terlebih dahulu menjadi tukang parkir.
“Memang
sih tukang parkir sering disebut-sebut sebagai pekerjaan laki-laki, tapi disini
ibu nggak terlalu mikirin itu ah. Yang lebih ibu pentingin bagaimana kebutuhan
keluarga tercukupi dan melihat anak-anak ibu bisa sekolah. Ya selama tukang
parkir itu pekerjaan yang halal ya nggak apa-apa. Daripada jadi pengangguran di
rumah tanpa menghasilkan apa-apa.”
Dari
hasil kerja keras ibu Parsini dan suaminya, mereka dapat menyekolahkan kedua
anaknya. “Anak ibu yang pertama lulusan D3 Sastra Inggris Unsoed lho mba.
Sekarang sudah menikah lalu ikut suaminya kerja di Jakarta. Sekarang sudah
bekerja juga jadi guru SD di Cakung. Alhamdulillah beban ibu berkurang satu.
Sekarang tinggal nyekolahin si bungsu saja.” katanya seru sekali.
Selama
bekerja penampilan bu Parsini sengaja ditata seperti laki-laki dengan rambut
digulung dan dimasukkan ke dalam topi kuning Unsoed. Gaya memarkirnya pun tidak
kalah tegas seperti laki-laki. Bahkan bu Parsini terlihat lebih galak
dibandingkan dengan suaminya yang juga menjaga lahan parkir di sebelahnya.
Profesi
ibu Parsini memang terbilang menarik karena tukang parkir seringkali lebih
diidentifikasikan profesi untuk laki-laki, namun bu Parsini dapat membantah
semua itu. Bu Parsini justru bersyukur telah memilih profesi yang telah 20
tahun ia geluti karena beliau menjadi lebih dikenali oleh orang-orang yang
pernah ditemuinya. Bahkan bu Parsini mengaku ia sering didatangi oleh media
untuk diwawancara maupun direkam dan masuk televisi. Sudah pasti itu merupakan
kebanggaan tersendiri baginya.
Sebelum
saya pamit pulang, tidak lupa bu Parsini memberikan banyak pesan sambil
menyentuh bahu saya. Beliau mengajari saya banyak hal dan membuka mata hati
saya untuk terus semangat menjalani hidup, walau seberat apapun beban itu.
Ceritanya bagus, dari memarkir bu Parsini bisa menyekolahkan anak sampai lulus universitas. Lain kali kalo diminta bayar parkir harus ingat cerita ini.
BalasHapus